Powered By Blogger

kisah inspiratif widya

Senin, 10 Mei 2010

Anak Hilang

Kali ini, inspirasi cerita saya berasal dari almarhumah ibu saya. Waktu saya kecil, ibu yang biasa kadang saya panggil "emak" (kalau lagi baik) dan "mami" (kalau lagi sebel) ini memang kerap menceritakan beragam kisah masa lalunya. Salah satu kisah yang sangat menyentuh dan sering saya ingat sampai sekarang adalah cerita 2 anak hilang. Mengapa dua? Karena memang ada dua orang anak yang tidak jelas asal usulnya, tetapi sangat dikenal ibu saya dan tidak pernah dilupakannya sampai akhir hayatnya. Mereka adalah:

1. Man Benjol

Waktu aku naik kelas 4 SD, sekitar tahun 1988 aku dibawa ibu mudik ke kampungnya. Di daerah Simpang Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Entah apa yang ada dikepala ibu saat itu, tiba-tiba beliau nekad mengajak aku untuk menjalani petualangan seru menuju kampungnya. Mungkin beliau rindu dengan keluarganya.

Dari Palembang, dengan koper besar kami naik kereta api. Ayah hanya mengantar sampai stasiun. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Tibalah kami ke rumah adik ibu, Abuk (Paman) Zainal Abidin di asrama polisi Baturaja. Kami datang disambut, Bu Gus (istri abuk) yang baru habis sholat zuhur. Ibu Gus mencium aku dengan gemas, dan akhirnya kami pun dapat beristirahat. Disini kami menginap beberapa hari. Aku bertemu saudara sepupuku, ayuk Irma, kak Hero dan Kak Rahmat. Senangnya. Dengan ayuk Irma aku dibawa jalan-jalan jajan tekwan, kue dan lain-lain. Dengan kak Hero aku dibelikan banyak permen, dan kak Rahmat mengajari aku main pianika.

Setelah tinggal menyenangkan di rumah paman di Baturaja itu, kami kemudian naik angkutan lagi menuju kampung ibu yang sebenarnya. Tetapi eit, kami tidak buru-buru sampai di rumah Jong (kakek). Tetapi kami mampir dulu ke rumah paman yang satu lagi, yakni adik bungsu Ibu yang sekandung, mamang Ham di Selabung. Wah, disini aku akhirnya bertemu bibi kami yang lincah bernama Bik Upik, adik sepupuku Ginanjar yang masih balita dan adik sepupu yang masih bayi bernama Franky.

Menginap di rumah Mang Ham hanya semalam, karena kemudian kami langsung menuju rumah kakek yang tidak begitu jauh. Tinggal di rumah kakek, aku bertemu banyak sepupu kecil yang lain. Ada Fatma, ada Rizal, dsb. Ada juga adik-adik tiri ibu yang juga masih kecil-kecil, seperti bik Tini, mang Nas dan mang Budi. Bersama para sepupu dan paman bibi ini, kami selalu bermain. Kadang kami main ke sungai Taro, yang berada di dekat hutan dengan di kawal paman yang agak besar, mang Ujer. Saat itu aku suka sekali kampung ibuku. Suasana yang asri dan kekerabatannya pun semakin mengental.

Kami sering jalan-jalan di sepanjang kampung, menikmati suasana yang begitu menyenangkan itu. Tetapi kadang kami juga agak takut dan tiba-tiba berlari menjauh, jika kami melihat sosok ini: Man Benjol.

Man Benjol merupakan sosok laki-laki tua yang nampak sekali mengalami keterbelakangan mental. Badannya bungkuk, kepalanya botak. Dia memakai baju lusuh dan berjalan disepanjang kampung tanpa menegur siapa pun. Berjalan begitu cepat, dan kadang mengeluarkan gumaman yang lumayan keras. Seakan dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan jika dia lewat, warga kampung disana juga tidak memperdulikannya. Tetapi bagi aku yang baru menginjakkan kaki disana, sosok itu menjadi nampak begitu "luar biasa". Meskipun aku sedih melihat kondisinya, tetapi aku tidak berani mendekat. Takut. Begitu takutnya aku sampai aku menjauh, dan jika aku sudah ketakutan begitu, para sepupu dan adik-adik ibu yang kecil-kecil itu pun ikut-ikutan latah menjauh.

Saat kami akan kembali ke Palembang, tiba saatnya kami berpamitan dengan seluruh keluarga. Namanya juga di desa, maka hampir semua warga kampung adalah saudara semua. Sepanjang jalan tanganku capek dan hidungku lecet menciumi tangan banyak orang. Hikmahnya, kantung jadi tebal karena ada-ada saja keluarga jauh ini yang menyisipkan lembaran uang kertas buat jajan. lumayan.

Tetapi ketika sibuk salam-salaman ini, tiba-tiba lewat sosok "luar biasa" itu lagi. Man Benjol! Karena sudah mau pulang, maka aku "puas-puasin" melihat sosok itu lagi. Ya, minimal aku bisa melihat dan mendoakan orang itu. Meski aku tetap tidak bisa menghapus rasa takut. Dan untuk yang terakhir ini, aku ingin menunjukkan kepada ibu tentang sosok yang menyedihkan itu karena...

"Man! Man Benjol!"

Aku terpana. Tiba-tiba ibuku begitu bersemangat mengejar Man Benjol yang nampak berjalan begitu cepat dan semakin menjauh itu.

"Man, apa kabar? Man ingat dengan Mai? Ini Mai, Mai sekarang di Palembang. Man sehat? Ya Allah Man, kamu sudah semakin tua sekarang. Ini ada uang dari Mai buat Man. Terima kasih dulu sering nolong Mai ya Man..." kata ibuku.

Aku melihat ibuku membuka tas hitamnya. Mengeluarkan uang kertas dan menggumpalkannya digenggaman tangan Man Benjol. Si Man Benjol mengangguk-angguk, seperti orang yang agak kurang sadar. Sambil terus berjalan, dia memandangi lembarang uang kertas dari ibuku tersebut. Sementara ibuku, terus memandanginya dengan tersenyum yang sangat ikhlas. Lho, ada hubungan apa ibuku dengan laki-laki paruh baya yang agak kurang waras itu?

Di kemudian hari aku tahu, bahwa ibu ternyata punya kenangan baik dengan sosok Man Benjol. Ibu bercerita, waktu dia kecil, tiba-tiba ditemukan anak laki-laki kecil tersesat dikampungnya. Tidak ada yang tahu asal muasal anak itu dengan jelas. Dan malangnya, anak tersebut pun tidak bisa bicara dengan jelas pula. Dia hanya anak hilang. Ada yang bilang, dia terbawa sebuah truk dari luar kota. Orang melihat anak itu pucat kumal. Sulit bicara dan nampak putus asa. Bertahun-tahun kemudian, orang mengenalnya sebagai Man Benjol. Warga kampung yang hidup atas belas kasihan warga lain. Entah siapa yang memberikan nama tersebut. Mungkin karena dia pernah menyebutkan kata "Man" dan orang melihat jidatnya yang jenong itu, hingga menambahkan kata-kata "benjol".

Menurut ibu, kisah hidup Man selanjutnya juga tidak dapat dikatakan indah. Sejak ditemukan sebagai anak hilang, dia selamanya tetap "hilang". Man selalu ada dikehidupan warga kampung itu, tetapi kehadirannya tidak begitu terasa. Dia seperti mahluk yang berkeliaran disepanjang jalan. Lepas. Bebas. Tanpa ada yang peduli siapa dia sebenarnya. Man Benjol tidak punya saudara disana, apalagi rumah. Dia tidur dibawah rumah orang, di pinggir jalan, di tempat-tempat yang tak layak dihuni manusia. Man makan dari orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Man Benjol mungkin tidak bisa diajak bicara, berhitung, apalagi membaca. Tetapi tenaganya kuat bagai kuda. Dia sanggup memanggul air dari sungai ke rumah-rumah warga. Man kuat memikul kayu, hasil tani dan sebagainya. Dan untuk itu, orang hanya memberinya makanan, pakaian, atau sedikit uang.

Dan orang yang sering menggunakan jasa Man Benjol itu termasuk ibuku. Ibu waktu itu adalah anak sulung dari 5 bersaudara. Ibunya meninggal saat dia kecil, dan bersama sang ayah dia terpaksa harus memelihara adik-adik kecilnya. Bukan suatu yang mudah bagi seorang gadis muda belia. Apalagi dikemudian hari sang ayah kerap menikah karena alasan berpisah, atau sang istri baru itu meninggal pula. Ibu pun mendapat tambahan adik-adik tiri.

Ibuku sering meminta jasa Man Benjol untuk mengangkut air. Dan untuk ibu, Man selalu siap memanggul air. Sebab ibu pasti akan memberikannya makan. Kata ibu, Man sangat semangat makan. Karena ibu tidak pelit dalam urusan membagi jatah makan, maka Man selalu rajin ke rumah kakek untuk minta disuruh ibu. Setelah selesai bekerja, Man akan duduk bersila di dapur menantikan sajian makanan lengkap dari ibuku. Kalau ada keluarga lain juga, maka mereka ikut makan bersama Man Benjol itu. Tidak ada perbedaan. Man dianggap bagian dari keluarga. Meski Man tidak pernah mau diminta tinggal di rumah. Man lebih suka tidur dijalan sambil memandangi langit. Man sejuk dalam kesendiriannya. Mungkin dia merasa melihat wajah orangtua dan keluarganya di atas sana.

Selanjutnya ibuku menikah dengan seorang tentara (ayahku) dan pindah ke kota Palembang. Setelah ibu pindah, Man konon tetap sering membantu keluarga kakek untuk membantu-bantu pekerjaan. Dan juga membantu warga kampung lainnya. Dan ketika bertahun-tahun kemudian ibu juga mendengar kabar, bahwa Man Benjol meninggal dunia. Dia sakit dan sudah terlalu tua.

"Sudah meninggal Man..." aku ingat ibuku mengatakan itu sambil menundukkan wajah.

"Itulah nasib anak yang hilang nak. Makanya, ibu tidak pernah mengizinkan kalian pergi main jauh-jauh. Nanti kalian hilang. Seperti si Man itu. Kasihan sekali hidupnya. Gara-gara terbawa truk, sampai tersesat hidupnya. Tak ada yang bisa mengantarkannya pulang, karena dia pun tidak bisa bicara dengan jelas. Daya pikirnya juga lemah. Tetapi Man itu orang yang rajin bekerja. Orang yang selalu menolong orang lain. Dia selalu menolong ibu mengangkut air. Dan dia selalu suka membantu ibu, apalagi karena ibu selalu memberinya makan. Entah bagaimana perasaan orangtua si Man itu waktu tahu anaknya hilang. Apalagi jika tahu nasib anaknya sampai terlantar begitu. Mungkin mereka telah mencari kesana-kemari, dan mungkin mereka menyesal sepanjang hidupnya"

aku melihat ibu mengusap air matanya,"Orang tua yang kehilangan anaknya, pasti juga kehilangan jiwa raganya. Dan itu lebih buruk daripada mati"

Anak yang hilang adalah anak yang tidak pernah kembali. Tetapi anak hilang adalah mungkin juga adalah anak yang datang, tetapi kemudian pergi. Meninggalkan kesan berarti bagi yang ditinggali, karena dia tidak pernah terlihat lagi. Dan anak hilang kedua yang dikenang ibu adalah:

2. Kakak yang cantik

Kisah tentang kakak yang cantik ini baru terungkap ketika aku menjelang remaja. Dulu waktu kecil, memang ibu terkadang bercerita tetapi tidak begitu lengkap. Aku pun lupa siapa nama kakak perempuan yang cantik ini. Yang kuingat, ketika aku besar, ibu mengungkap suatu kisah yang membuat aku meneteskan air mata. Ini tentang kasih sayang dan persaudaraan.

Menurut ibu, suatu hari tiba-tiba hadir juga anak hilang di kampungnya. Berbeda dengan Man Benjol, anak perempuan ini justru cantik dan cerdas. Dia lari dari kampungnya dengan alasan yang tidak jelas. Nampaknya dia sangat membenci keluarganya. Entah apa yang terjadi, dan bagaimana ceritanya, tiba-tiba dia kemudian diasuh kakek dan nenek.

"Kakek dan nenek kasihan melihatnya. Dia anak perempuan yang masih belia. Sejak itu dia tinggal di rumah, untuk menemani ibu bermain. Dia kakak yang cantik dan menyenangkan. Sebab itu kakek dan nenek sangat sayang kepadanya, seperti anak sendiri. Apalagi dia rajin, sering membantu pekerjaan rumah tangga"

Tetapi kebersamaan dengan kakak yang cantik itu pun harus hilang. Tiba-tiba ada banyak laki-laki datang ke rumah kakek, yang mengaku sebagai keluarganya. Mereka meminta si kakak ini kembali lagi. Ternyata si kakak berasal dari kampung yang cukup jauh. Entah bagaimana ceritanya ada anak perempuan belia yang nekad bepergian begitu jauhnya. Meski berat, akhirnya kakek dan nenek mengizinkan para lelaki tersebut untuk menjemput si kakak. Hanya, si kakak ini anak yang cerdas dan lincah sekali. Ketika akan dibawa pulang, dia pasti bisa tiba-tiba menghilang.

Kata ibu, berkali-kali utusan penjemput dari pihak keluarganya itu datang, berkali-kali pula si kakak ini menghilang. Lenyap bagaikan ditelan bumi. Dia bisa hilang berhari-hari, tetapi kemudian kembali lagi ke rumah ibu. Tetapi tiap ditanya kemana dia menghilang, si kakak ini hanya diam.

"Dia begitu cepat berlari diatara semak belukar dan hutan. Dia begitu cepat menghilang. Lama sekali. Dan ketika utusan keluarganya itu pergi, dia tiba-tiba langsung kembali. Entah apa yang dilakukannya. Dia begitu misterius"

Tetapi kondisi datang dan pergi yang dilakukan si kakak itu pun berakhir. Bukan karena dia lupa menghilang, atau orang menemukan tempat persembunyiannya. Tetapi karena rasa sayangnya kepada ibuku, adik angkatnya.

Suatu hari, utusan keluarganya itu kembali datang menjemput. Saat itu ibu dan si kakak ini sedang mengambil air di sungai. Saat itu nenek sangat membutuhkan air saat itu.

"Kakak sudah tahu. Dia tahu ada yang akan menjemputnya. Sebab itu dia sudah siap berlari ke hutan. Ibu waktu itu masih sangat kecil, ibu tidak begitu kuat mengangkat air. Tetapi karena si kakak ini akan bersembunyi, maka ibu memaksakan untuk membawa tempat air ini,"

Tampaknya si kakak ini tidak tega ketika melihat ibu nampak begitu berat membawa air. Tiba-tiba si kakak ini kembali dan langsung mengangkut air yang tadi dibawa ibu itu.

"Dia bilang, berat ini dek. Kasihan kau dek!"

Dan air itu terus dibawanya sampai ke rumah. Setelah meletakkan air di rumah, tentu si kakak tidak mungkin lagi dapat berlari. Tetapi dia tidak menangis. Dia hanya diam saat utusan keluarganya itu akan membawanya pulang. Kakek dan nenek memberinya uang, anting emas dan kain sebagai kenangan. Dengan pesan, agar suatu saat nanti dia dapat berkunjung kembali ke rumah orang tua angkatnya.

"Saat dia dibawa pergi, ibu cuma bisa menangis. Tetapi kakak itu tetap tersenyum kepada ibu. Dia seperti tidak pernah menyesal untuk melakukan pengorbanan itu. Meski ibu tahu, dia sangat tidak ingin kembali ke rumahnya. Entah apa yang terjadi disana. Si kakak nampak begitu sedih, benci dan takut untuk pulang ke rumahnya.Disitu ibu tahu kalau dia benar-benar sayang kepada ibu. Adik angkatnya..."

Sejak itu ibu tidak pernah melihat kakak angkatnya yang cantik itu lagi. Dia tidak pernah kembali. Dia datang dan pergi, kemudian benar-benar tidak pernah kembali. Kisah ini mengajarkan aku, betapa rasa sayang itu jumlahnya lebih. Kita dapat melakukan apa pun untuk orang yang kita sayangi. Meski akhirnya itu hanya akan menjadi suatu pengorbanan dalam hidup seseorang yang cuma bisa dikenang. (widya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar