Powered By Blogger

kisah inspiratif widya

Jumat, 25 Juni 2010

Impian 2 Bocah Lelaki

Saat aku sempat balik ke Palembang, tinggal dan bekerja sekitar 1,5 tahun disana aku pernah kenal 2 sosok bocah lelaki ini. Perkenalan kami hanya sesaat, terjadi karena atas kebutuhan aku mengasuh anak. Keduanya anak yang tinggal disekitar rumah kontrakanku. Doa bocah putus sekolah yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi lemah. Bocah pertama bernama Sultan. Sementara bocah kedua, aku lupa siapa namanya. Tapi anakku biasa menyebutnya Kakak.


Sultan

Eits, ini bukan Sultan dalam arti sebenarnya. Ini adalah nama seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 atau 13 tahun. Sultan adalah anak tetangga dari pengasuh anakku. Dia suka anak kecil. Sebab itu dia sering membantu pengasuh anakku mengasuh si Rudy. Lagi pula dia putus sekolah. SD saja tidak tamat. Keluarganya sangat miskin. Tapi anak ini selalu ceria, dan Rudy memang senang sekali dengan si Sultan ini. Mereka kerap jalan-jalan, main bola, main mobilan, dan sebagainya. Segala yang diinginkan Rudy kecilku dapat diwujudkan Sultan. Termasuk meletakkan si gendut itu dipundak sambil nonton sepak bola di lapangan saat menjelang senja.

Semakin lama, yang eksis mengasuh anakku ini adalah justru si Sultan. Semua tetangga mengatakan, Rudy lebih banyak diasuh Sultan ketimbang pengasuh anakku yang sebenarnya. Nah, lho! Dan aku pun semakin sering melihat bahwa Sultan memang sangat sayang dengan si Rudy ini. Rudy biasa menyebutnya dengan nama "kakak utan". Keakraban mereka terus mengalir. Dan aku hanya bisa melihat bahwa sebenarnya Rudy tidak butuh pengasuh. Dia hanya butuh teman. Dan teman yang dia butuhkan adalah Sultan. Teman bermain, teman bercanda, teman menunggu ibunya pulang ke rumah usai bekerja.

Tetapi untuk mempekerjakan Sultan sebagai pengasuh anakku, jelas tidak mungkin. Dia kan laki-laki? Sementara waktu itu aku sedang hidup terpisah dengan suami. Kami waktu itu belum bercerai, tetapi sudah pisah selama satu tahun. Apa kata tetangga kalau aku meminta Sultan menjaga anakku di rumah? Sementara untuk menitipkan anakku di rumah Sultan, sangat tidak mungkin.

Orang tua Sultan sudah tua renta. Tidak mungkin bisa mengurus Rudy. Lagipula, kondisi rumah Sultan sangat tidak layak. Sedih sekali melihat rumah itu. Tepat berada di pinggir got. Dinding rumah hanya seng tua yang sudah bolong-bolong, dan lantainya hanya tanah. Rumah itu sempit sekali. Hanya ada balai-balai untuk tidur. Tanpa kasur. Panas dan penuh nyamuk. Kasihan anakku kalau dititip disitu.

Dan terpaksalah, pengasuh anakku jadi dobel. Si ibu tukang sayur dan si Sultan. Tetapi proses itu hanya satu bulan. Aku tidak cocok dengan kondisi lingkungan kerja dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Aku hanya pamit sama si ibu tukang sayur, dan aku tidak sempat pamit sama Sultan. Bocah yang pandai mengurus anakku itu lagi main bola. Tetapi untunglah ada salah satu ibu pedagang baju di pasar itu yang bersedia mencari Sultan. Dan anak laki-laki kecil dan kurus itu kemudian datang ke rumah kontrakanku.

Baru kali ini aku benar-benar melihat wujud asli anak itu. Kecil, hitam dan lusuh. Dia selalu memakai pakaian yang itu-itu juga. Pakaian kumal, dekil dan penuh robek dimana-mana. Sesekali aku sering juga melihat dia memakai jaket. Kata Sultan, itu jaket milik temannya. Karena dia tidak pernah memiliki sebuah jaket. Ya, boro-boro jaket, kaos oblong aja yang itu-itu juga.

"Ada apa yuk?" Sultan nampak menunduk hormat padaku. Ayuk adalah sebutan kakak untuk orang Palembang.

"Sultan, ayuk mau balik ke Jakarta"

Dia terpana. Lalu langsung memeluk Rudy yang memang sudah dari tadi memeluk kakinya."Wah, kakak harus pisah sama Rudy"

Saat itu aku bingung mau memberikan kenang-kenangan apa dengan si Sultan ini selain uang. Sebab meski baru satu bulan mengasuh anakku, aku sudah merasa simpati sekali dengan bocah lugu ini. Dia benar-benar tulus mengurus anakku. Dia tidak pernah minta uang.

Awalnya, aku hanya memberikan Sultan jam dinding. Jam dinding besar bergambar Walikota Palembang, yang kudapatkan dari Walikota Eddy Santana saat rutin meliput masa kampanye beliau. Tapi kemudian aku berikan dia barang-barang lain, yang ternyata memang sangat dibutuhkan dia dan keluarganya.

Aku memilihkan pakaianku yang kira-kira cocok buat Sultan. Dari kaos, jaket jeans hingga kemeja. Maklum, aku memang suka pake baju-baju cowok. Casual dan keren. Sultan senang sekali. Dia mencoba satu persatu pakaian itu. Bahkan dia langsung memakainya. Terutama jaket jeans aku, dia tidak mau melepasnya. Padahal cuaca Palembang saat itu sedang panas minta ampun.

"Bagus yuk bajunya. Terima kasih. Sultan jadi banyak baju sekarang" dia teriak-teriak.

"Sultan mau bantal? Ada bantal nggak di rumah?"

"Ada yuk. Cuma dua, sudah kempis-kempis"

Kuberikan bantal-bantalku padanya. Termasuk sarung bantalnya. Ada juga baju buat ibunya, dan beberapa barang lain untuk keluarganya. Seperti tikar, taplak dan sebagainya.

Lalu aku melihat kaki Sultan. Dia bahkan tidak memakai sandal. Kakinya kotor penuh lumpur. Kuberi dia sandal. Dia senang sekali. Tetapi tunggu, masa cuma sandal? Tiba-tiba aku melirik sepatu kets biru kesayanganku. Kenapa tidak diberikan juga kepada Sultan?

"Sultan mau sepatu? Muat nggak kakinya sama sepatu ayuk?" kataku sambil menyerahkan sepasang sepatu itu.

Sultan dengan penuh semangat langsung memakainya. Pas! Dia langsung mencoba berjalan-jalan dengan sepatu itu. Bolak-balik, bahkan dipegang-pegangnya dengan sukacita.

"Sultan suka sepatunya?"

Dia mengangguk. Lalu menangis. "Terima kasih ayuk. Sultan tidak pernah punya sepatu. Sultan ingin sekali punya sepatu. Sepatu ini bagus sekali. Baju ini juga, apalagi jaket ini. Alangkah banyaknya barang-barang ayuk yang diberi untuk Sultan. Sultan ikhlas yuk jaga si Rudy. Tetapi ayuk kasih Sultan banyak sekali..."

Ya Allah...aku juga menangis saat itu. Terharu sekali. Barang-barang yang tidak penting begitu bagiku, ternyata sangat berharga bagi Sultan dan keluarganya. Saat itu aku seakan menjadi orang yang kaya sekali. Aku lupa meski saat itu aku juga sedang bermasalah mengenai kondisi keuangan. Rasanya semua pikiran sedih dan putus asa lenyap sudah.

Ternyata ada orang yang lebih susah dari kita. Lebih menderita. Dan karena kita mampu sedikit berbagi, maka kita tiba-tiba merasa memiliki hati seluas samudra. dan jujur, perasaan seperti itu begitu luar biasa. Sayang perekonomianku tidak cukup mampu untuk menolong banyak orang seperti si Sultan ini misalnya. Demi menghidupi anakku, aku saja harus berjuang banting tulang dan peras tenaga. Tetapi harapan untuk suatu hari kelak dapat memiliki kehidupan yang jauh lebih baik serta berbagi dengan orang-orang lain yang kekurangan jelas ada dan tak pernah punah. Itu cita-cita abadi yang selalu terselip di hati ini.

Menjelang kepergian kami, Sultan juga sempat menitipkan harapan padaku. Agar suatu hari kelak aku dapat mengajaknya bekerja. Waktu itu aku niat balik ke Jakarta antara lain juga selain ingin pindah kerja juga karena berpikir untuk rujuk dengan suami. Hal itu kuceritakan dengan Sultan, dan dia semangat sekali mendengarnya.

"Si kakak, suami ayuk itu kerja apa disana yuk? Ajaklah Sultan yuk kerja disana. Bantu-bantu kakak dan ayuk disana. Jaga Rudy pun Sultan mau yuk. Rudy lucu, Sultan suka. Sultan ingin kerja cari uang yuk. Kasihan emak dan bapak sudah tua. Sultan ingin bantu-bantu kirim uang..."

Tapi waktu itu aku hanya tersenyum padanya. Susah berjanji saat itu. Aku saja tidak begitu yakin dengan kehidupanku selanjutnya nanti. Masalah aku dan suamiku waktu itu saja belum jelas, bagaimana mungkin aku dapat menjanjikan pekerjaan kepadanya? Tetapi melihat begitu besar semangatnya, entah mengapa hatiku seakan berusaha mewujudkannya. Someday, jika aku sukses mungkin aku akan jemput bocah kecil ini. Begitu harapanku.


Kakak

Ini adalah bocah lelaki kedua yang juga sering membantu aku mengasuh Rudy. Keluarganya mencari nafkah dengan jualann pempek. Mereka tinggal dirumah sempit yang sesak sekali. Dan ya Tuhan, anak mereka banyaaaaaaaakk sekali. Konon sang ibu ini kebal KB. Menghidupi anak banyak dengan jualan yang kadang laku kadang nggak jelas masalah besar. Sebab itu, si ibu dari keluarga ini kerap menghutang. Akibatnya, dia sering tiba-tiba sembunyi dibalik pagar rumah tetangga jika ada penagih hutang datang.

Inilah awal pertemuan aku dengan ibu dari bocah lelaki yang kami panggil si Kakak ini. Dia tiba-tiba loncat masuk ke rumahku minta pinjem uang. Kaget sekali aku. Awalnya kukira ada masalah berat. Ternyata mau pinjam uang. Waduh, mampus! Mana aku belum gajian. Lagipula para tetangga lain sudah wanti-wanti agar aku tidak meminjamkan uang kepada si ibu ini. Karena dia tidak pernah bisa membayar hutangnya. Hutang lamanya saja sudah banyak, bagaimana membayar hutang-hutang baru? Begitu analisa para tetangga. waduuuh...

Tetapi aku tetap berusaha baik dengan keluarga ini. Aku kerap membeli barang dagangan mereka. Cuma yang aku stres, anak-anak keluarga ini banyak sekali. Dan mereka ini senang sekali main ke rumah. Tidak menjadi soal sih kalau mereka asyik-asyik semua. Masalahnya yang datang ini pasukan balita yang kucel, kumel dan lapar semua. Lapar perut, lapar mata. Apa aja di rumah kita bisa diembat semua. Kalau makanan sih nggak jadi soal. Nah, ini mainan si Rudy mau dicaplok semua. Udah dikasih boneka, minta yang lain. Dikasih juga, minta lagi. Terus begitu. Akibatnya terjadi pertikaian dengan anakku, yang membuat kepalaku mau pecah saat itu.

Sejak saat itu, aku harus mewaspadai kedatangan pasukan dari anak-anak keluarga ini. Caranya? kasih mereka uang jajan dan makanan sebelum mereka masuk ke rumah. Biar mereka segera pulang. Aman! Setidaknya mereka tidak berperang dengan anakku. Sebenarnya sedih melihat pasukan anak-anak tak berdosa itu. Mereka kecil-kecil semua. Bertingkat-tingkat susunannya kayak tangga. Yang agak gede bertugas jaga adik-adik yang kecil. Sedih melihat bocah lima tahun gendong bayi. Tuhan..

Tapi diantara saudara-saudara pasukan mengenaskan itu, aku suka salah satunya. Dia salah satu anak laki-laki paling gede. Usianya sekitar 7 tahun, kami menyebutnya si Kakak.

Si kakak ini sangat santun dan ramah. Dia selalu minta maaf kepadaku atas kelakuan para saudaranya. hehe...Dan si kakak ini pula kerap membantu aku banyak hal. Bantuin aku beli sesuatu ke warung, ngangkutin barang, nungguin Rudy sebentar atau aktifitas ringan lain. Dia senang melakukannya, apalagi karena pasti kuberi uang. Bahkan dia sering menghampiri aku, berharap mendapat tugas baru. Kalau aku tidak punya tugas buat dia sih, aku tetap terkadang kasih dia uang dan makanan. Kasihan sekali si kakak ini, dia juga putus sekolah.

Satu hal yang tidak aku lupakan dari si kakak ini. Suatu hari, aku sakit. Aku minta bantuan dia menunjukkan rumah dokter terdekat. Tentu saja dengan izin orang tuanya. Selepas isya, aku, anakku dan si kakak ini berjalan menuju rumah dokter. Tuhan, karena aku lagi sakit jadi rumah dokternya nampak terasa sangat jauh. Sementara ojek nggak ada yang lewat malam itu. Apes banget. Mana kondisi tekstur tanahnya berbukit dan berliku. aku yang sedang kurang enak badan, ditambah menggendong anakku yang sedang gemuk-gemuknya itu tentu saja lemas.

Tetapi Ya Tuhan...si kakak ini, bocah lelaki kecil kurus hitam ini langsung meminta izin aku untuk menggendong Rudy.

"Biar kakak yang gendong adik Rudy, Bu. Saya biasa gendong adik" kata dia.

Entah kenapa aku percaya. Dan dengan jarak tempuh yang cukup jauh karena proses menanjak dan menuruni tanah berbukit dan agak curam itu, dilewati si kakak ini dengan menggendong anakku. Rudy kecilku memeluk erat lehernya, dan si kakak ini tampak senang dan selalu tertawa. Meski berat badan Rudy nampak jauh lebih berat dari si bocah lelaki ini. Pulang dari dokter pun dia tetap nekad menggendong si Rudy.

Saat si kakak ini akan kuantar ke rumahnya, kuselipkan uang lima ribu perak ke tangannya. Cuma lima ribu perak! Karena cuma itu uang kecil yang tersisa setelah proses pembayaran pemeriksaan kesehatan di dokter tadi. Maksudku, aku ingin beri dia lebih, terutama makanan-makanan kecil di rumah. Tetapi anak itu sudah berlari kesana-kemari. Meloncat-loncat bak tupai liar. Tertawa dan berteriak kuat-kuat. Tuhan...dia senang sekali menerima lima ribu rupiah itu.

"Terima kasih ibu! Terima kasih ibu!" kata dia sambil terus meloncat-loncat.

"Eh, ke rumah dulu ya. Nanti ibu tambah uangnya, ibu juga ada banyak makanan. Biar nanti kamu bagi dengan adik-adik..."

"Tidak usah ibu. Terima kasih! Ini sudah banyak ibu. Ini sudah banyak sekali!" dia masih terus meloncat-loncat sambil masuk ke rumahnya. Dia pamerkan uang itu kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Dan ramailah rumah itu oleh terikan-teriakan balita dan tawa orang tuanya.

Sedih melihatnya. Ternyata itu adalah uang terbanyak yang pernah si kakak ini terima. Senang bisa membuat bahagia bocah kecil tersebut. Kasihan melihat anak sekecil itu harus sudah diberi tanggung jawab mengurus begitu banyak adik-adiknya. Sampai dia terpaksa putus sekolah. Ibunya yang rutin beranak itu bahkan masih meninggalkan tunggakan biaya melahirkan di bidan untuk anak terakhirnya, dan kini kulihat perutnya sudah buncit lagi.

Saat aku akan balik ke Jakarta, si kakak ini juga ikut membantu aku membereskan barang-barang yang akan kubawa. Sama seperti Sultan, bocah ini juga berharap suatu hari bisa pergi ke Jakarta.

"Jakarta seperti yang saya lihat di tivi ya, Bu? Bisa cari uang banyak disana ya Bu? Bu, nanti kalau saya sudah besar saya mau kesana. Mau cari ibu dan Rudy. Saya mau cari uang disana ibu, buat bantu orang tua dan adik-adik disini. Saya mau ke Jakarta ibu..."

Lagi-lagi sama seperti Sultan, aku tidak bisa berjanji.

Kini, kisah itu sudah berlalu 3 tahun sudah. Aku gagal rujuk dengan suami yang nambah brutal kelakuannya, dan akhirnya kami malah cerai. Suatu keputusan yang mestinya sudah kuambil sejak awal perkawinan. Inilah akibatnya jika menikah dengan pria miskin hati dan pikiran.

Selanjutnya karirku juga tidak bisa dikatakan cemerlang. Yah, namanya juga masih jadi kuli di perusahaan milik teman. Begini-begini aja. Untung bisa ngidupin anak aja sudah alhamdulillah. Tetapi entah kenapa, ada salah satu mimpi yang masih ada di kepala ini.

Aku bermimpi. Jika suatu saat nanti aku menemukan laki-laki baik hati di republik ini, maka aku pasti akan berpikir untuk menikah lagi. Lalu aku dan suamiku yang baru ini nanti punya usaha sendiri. Nggak muluk-muluk si usahanya. Kecil-kecilan aja, tapi pasti. hihi...Kemudian aku ingin mengajak dua bocah itu untuk membantu usaha kami. Biar mereka bisa sekolah nantinya. Biar Rudy juga jadi punya 2 kakak nantinya. Biar keluarga kecil kami tambah ramai. Biar banyak rezeki. Biar...biar..dan biar..Amien Ya Rabb...

Itu jelas bukan impian spektakuler abad ini. Sekedar mewujudkan impian dua orang anak kecil yang pernah membantu aku dan anakku. Namun impian itu nampaknya hanya tinggal sekedar impian semata. Tidak pernah terjadi sampai detik ini. Semakin jauh dan semakin redup saja..

Kamis, 17 Juni 2010

Allah Itu Adil

Malam itu aku hampir mati ketakutan. Ketika tiba2 ada sms nyasar di hape-ku dengan isi: aku tunggu di ...penting. help!. Waduh, ada apa ini? Ini sms dari salah satu mantan pacar di masa lalu yang kini sudah punya istri dan satu anak. Kami memang sudah lama tidak bertemu, tapi terkadang sering juga sms-an, sekedar menanyakan kabar. Kalau bertemu dengan dia sih bisa dihitung dengan jari. Biasanya karena tidak sengaja pastinya. Tetapi saat ini aku ketemu dia sama istri dan anaknya. Kami kerap ngobrol bareng untuk beberapa waktu. Toh, istrinya juga tidak cemburu dengan aku. Dia sudah tahu semua dari suaminya tentang aku.

Lalu kini si mantan ini ngajak ketemuan aku, hanya berdua? Untuk apa? Waduh, terpaksa aku titip anakku ke ibu angkatku dulu. Pasti ini ada hal yang menakutkan sampai si mantan minta aku ketemu dengan dia. Dan di salah satu tempat makan di mall itu aku melihat dia duduk gelisah.

"Ada apa?" kataku, sambil buru-buru duduk di depannya.

Dia tersenyum. Meski terlihat datar. Lalu dia menawarkan aku untuk memilih menu makanan dan minuman dulu.

"Wid, maaf merepotkan. Tetapi aku ada masalah"

Dia memutar2 gelas kopinya. Tampak sulit bicara, tetapi kemudian aku lihat dia menangis.

"Kami sudah lama ingin bercerai, tapi aku selalu tak bisa karena anakku"

Ha??!! Bagai habis kena petir aku mendengarnya. Bercerai? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah yang terlihat selama ini mereka merupakan pasangan bahagia yang tiada tandingannya? Aku aja sampai iri banget melihatnya. Istrinya adalah sosok wanita cantik nan menggoda, yang sanggup membuat si mantan pacarku yang dulunya playboy nggak ketulungan ini bertekuk lutut. Inilah wanita yang membuatnya tergila-gila dan berhasil membuatnya menjadi suami sekaligus ayah. Sekitar 5 tahun pernikahan mereka, apakah ini hanya sekedar emosi keduanya semata?

"Kenapa ingin bercerai" kataku, pelan sekali. Takut membuatnya lebih shock. Ya, ampun. Si playboy yg dulunya "garang" dan macho banget ini ternyata bisa menangis. Air matanya meluncur pelan. Menghilangkan segala jejak "kedahsyatan" masa lalunya. Hmm..dia tidak sebengal dulu. Ada sisi rapuh dibalik laki-laki itu.

Kami dulu memang pernah berkencan. Tidak lama. Hanya dalam hitungan bulan. Waktu itu tidak ada kata spesifik dari hubungan kami ini. Selain pernah dekat. Okelah, mungkin dulu kami sama-sama kesepian. Jadi bertemu, dan sepakat untuk menjajaki kebersamaan. Tetapi ternyata tiak cocok! Aku tidak suka gayanya yang pecicilan terhadap banyak perempuan. Dan dia tidak suka dengan gayaku yang dianggapnya terlalu keras dan temperamental. Wah, itu aku banget ya? hehe...

Hubungan kami dulu memang tidak berlanjut. Tetapi anehnya kami tidak musuhan. Kami tetap berteman. Bahkan kami selalu menjaga komunikasi diantara kami. Sampai suatu hari dia bilang sama aku, ketemu cewek yang cantiiiik sekali. Dan dia berpikir untuk menikahi cewek ini. Saat itu aku cuma berkata: alhamdulillah mantan yayang, akhirnya kamu insyaf juga...hahaha

Dan mereka menikah. Aku datang juga lho di acara itu. Pokoknya acaranya serba mewah dan meriah dengan tema internasional. Luar biasa. Banyak sekali tamu yang hadir. Mempelai wanita dan prianya juga nampak mengagumkan. Satunya ganteng, satunya cantik. Mereka memang pasangan yang sangat serasi sekali. Aku sempat foto bertiga juga sama mereka. Aku ditengah, diapit mempelai. Terlihat banget aku jomplang sekali disana. Maklum, waktu itu aku mau liputan di salah satu launching produk milik Jepang di daerah Kelapa Gading. Sebelumnya ya aku nekad datang diacara kawinan mereka. Jadilah kostumku waktu itu, celana jins belel biru, sepatu kets merah, tas sporty abu2, kaos hitam gambar naga dengan blazer hitam garis2...hehe

Pada kesempatan itu, aku mengucapkan kata tulus; Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawwadah dan warrohmah. Amien Ya Rabb...tapi kenapa 5 tahun kemudian kejadiannya begini? Apa waktu itu aku salah ngomong saat berdoa ya?

"Kami menjalani 5 tahun ini penuh dengan pura-pura. Kamu tau nggak Wid? Kami ini sama-sama berselingkuh......"

What???!!!!

Si mantan bercerita. Dia menikahi istrinya dengan kebanggaan luar biasa. Karena kecantikan dan segala pesona yang dimiliki wanita tersebut. Hal itulah yang membutakan matanya. Hingga menjadi munafik. Sang istri ternyata tidak dapat melupakan mantan kekasihnya yang juga telah berstatus "menikah". Awal-awal perkawinan, hal tersebut masih bisa diatasi. Apalagi kemudian ada anak mereka. Tetapi ketika si anak udah mulai besar,dan si mantan ingin menambah momongan baru, sang istri menolak mentah2.

Perselingkuhan istri dengan mantan kekasihnya kemudian terbuka luas bak lapangan bola. Mantan pacarku ini ngamuk luar biasa. Tetapi dia tetap mencoba sabar. Atas nama cinta, dan dia juga sayang anaknya. Selanjutnya, pernikahan tersebut menjadi kering kerontang bak tanah di musim kemarau. Dan repotnya, si mantan ini mencari pelarian pula dengan segenap wanita di luaran. Cocok! Tetapi kata-kata cerai tersebut tetap tidak berani terungkap.

"Setiap kali melihat kecantikannya, kelembutan dan segala pesona dia aku jadi kalah. Rasanya tak siap berpisah dengan wanita sesempurna dia..."

Sempurna? Wueks!! Sempurna apa kalau sudah kawin masih selingkuh juga? Wah, aku geleng2 kepala. Ada penyakit mereka berdua ini hingga menjalankan proses pernikahan yang "payah".

"Sekarang istriku hamil. Dan aku tahu pasti itu bukan anak aku. Karena kami sudah tidak satu ranjang lagi sejak 6 bulan terakhir.."

Stop! Aku langsung minum cola banyak-banyak. Stres aku mendengarnya. Ini hal paling menjijikkan yang pernah kudengar.

"Sekarang, apa pun keputusanmu itu adalah hakmu. Aku hanya sekedar teman. Ceritakanlah apa yang akan kamu ceritakan. Ungkapkanlah semua. Bila perlu sampai muntah. Sudah itu, stop! Berpikirlah jernih untuk situasi yang seperti ini. Kamu itu laki-laki, kamu pemimpin di rumahmu sendiri. Seharusnya. Tetapi apa yang kamu lakukan? Kamu bahkan tidak bisa mengarahkan istrimu sendiri ke dalam lingkup kebaikan. Justru atas nama cinta yang dibutakan oleh segala kecantikannya itu kamu malah semakin membiarkannya tergelincir ke dalam perzinahan!"

"Aku cinta banget sama dia Wid. Kamu harus ngerti!" dia mulai merengek seperti bocah kecil minta dibelikan balon.

"Kalau kamu cinta, kamu harus bisa mengarahkan dia. Bukan seperti ini. Kalian justru hancur bersama-sama. Apa yang kulihat dari kisah perkawinan ini adalah dua orang bodoh yang berpikir bahwa mereka bisa mengatur hidup mereka tanpa campur tangan Allah. Aku benci perceraian. Kamu tahu kan, aku pun bercerai. Dan itu bukan suatu hal yang menyenangkan. Terutama bagi kaum perempuan, dan anak yang masih butuh kasih sayang. Aku suka kalimat bahwa kamu memikirkan anakmu. Pikirkan saja itu. Semua orang pernah salah, jadi kata maaf itu bukan suatu hal mewah. Hanya saja kamu harus ikhlas melakukannya, termasuk menerima bayi dalam kandungan istrimu yang jelas-jelas bukan darah dagingmu sendiri..."

Tiga hari kemudian, aku ditelpon mantan pacarku ini. Istrinya ternyata tidak mau melanjutkan pernikahan mereka. Dia lebih memilih menjadi istri simpanan daripada mantan kekasih lamanya. Sementara anak mereka juga dalam pengasuhan sang istri ini. Lalu, bagaimana kabar mantan pacarku? Hmm...dia kacau sekali. Dia nangis, teriak2 dan entah apalagi. Tampaknya dia sangat tertekan dengan kondisi ini. Dan satu2nya orang yang jadi tempat curahan hatinya mungkin cuma aku. Sehingga meledaklah semuanya bagai bom waktu. Dan mungkin aku yang sedang capek, kesel atau emosi juga mendengar kisahnya jadi ikut2an terpengaruh juga.

"Sudah diam, jangan merengek seperti anak kecil! Terimalah nasibmu sendiri. Sekarang kamu tahu kan bagaimana rasanya dihianati dan ditinggalkan? Tidak enak kan? Coba kamu mikir. Berapa perempuan yang pernah kamu buat berantakan hidupnya gara-gara ulahmu di masa lalu? Termasuk aku? Jangan menyalahkan takdir, jangan menyalahkan istrimu, jangan menyalahkan siapa2. Salahkan dirimu sendiri! Inilah buah dari perbuatanmu di masa lalu. Allah itu adil!"

Bleg! Aku lempar hape di kasur. Uh, marah sekali aku waktu itu. Jadi ingat perlakuan dia di masa lalu terhadap aku. Dia bilang dia cinta, dia sayang. Tetapi aku harus melihat sendiri betapa munafiknya dia terhadap hidup. Tidak hanya satu atau dua perempuan. Tetapi banyak! Jujur waktu itu aku mulai jatuh cinta sama dia. Tidak munafik, dia merupakan salah satu mantan pacar paling ganteng yang pernah kumiliki. Dan betapa berdukanya aku ketika tahu dia pun menjalin hubungan dengan salah satu sahabat baikku. Tuhan, tak dapat kuungkapkan rasa hatiku saat itu.

Namun seiring waktu aku memaafkan perbuatannya. Meski tidak ada keinginan untuk kembali, aku tetap memberikan tempat dihati sebagai sahabat. Aku merasa memang tidak ada hak untuk melanjutkan kebencian aku terhadapnya. Meski aku juga mendengar betapa banyak korban dia. Beruntung aku yang belum sempat "diapa2in" sama si bajingan ini. Tetapi wanita yang lain? Sahabatku yang juga ditinggalkannya itu sampai nyaris bunuh diri. Aku dengar juga ada cewek yang hamil lalu aborsi karena dia kabur. Terus ada juga yang terpaksa dikawinin orang lain karena lagi-lagi si ganteng tapi hatinya iblis ini lepas tanggung jawab.

Aku rasa, wanita2 yang pernah terluka itu pernah mengucapkan sumpah serapah. Termasuk aku tentu saja yang bahkan sempat menampar mukanya dan memukul kepalanya pake sapu. hehe...aku emosi sekali waktu itu karena tau dia selingkuh sama sahabatku. Tetapi waktu pula yang membuat semuanya menjadi semu. Para wanita itu mungkin sudah memaafkan dan melupakan. Tetapi inilah saatnya Tangan Tuhan bekerja untuk memberikan pelajaran bagi umat yang tidak lagi punya perasaan. Dia menyakiti orang, maka akan juga disakiti orang. Dia dihianati orang, dia pun akan merasakan pahitnya dihianati orang. Kini kita bicara tentang: KEADILAN. Tidak perlu membalas kejahatan orang lain, karena Allah itu tidak pernah tidur.

Habis sholat Isya, aku mendapatkan sms baru. Dari dia tentu saja: Wid, maafkan semua kesalahanku dimasa lalu. Kamu benar, ini semua karena buah dari kekhilafan aku di masa lalu. Terima kasih sudah mengingatkan. Kamu salah satu wanita terbaik yang pernah aku sia2kan. sekali lagi, maafkan.

Bleg! Lagi2 aku lempar hape ke kasur. Malam itu aku nonton Opera Van Java tanpa ketawa2. Jadi ingat dulu aku sempat protes ke Tuhan kenapa harus kehilangan cowok seganteng dan sekeren dia? Aku dulu merasa Allah tidak adil. Astagfirullah..ternyata kini aku tahu jawabannya. Dia memang tidak pantas buat aku. Tidak baik dan memang tidak patut. Allah punya rencana sendiri dalam hidup aku. Aku suka kalimat yang mengatakan, terkadang kita harus bertemu dulu dengan orang yang tidak baik agar kita dapat memiliki orang yang terbaik.

Jadi semua ada hikmah, ada pelajaran yang dapat dipetik. Ketampanan, kecantikan, pesona penampilan dan sebagainya bukanlah hal utama yang harus dicatat sebagai syarat mutlak suatu pasangan. Tidak ada jaminan kemasan itu akan sebagai isinya. Ketampanan atau kecantikan dapat pudar karena usia, kesehatan atau kecelakaan misalnya. Tetapi kebaikan hati tidak akan luntur dengan mudahnya. Tetapi masalahnya, sampai detik ini aku memang susah mencari pasangan yang punya hati yang begitu luar biasa. Tuhan, dimana aku harus mencarinya? hiks!

Rabu, 16 Juni 2010

Lebih Baik Dicintai, Daripada Mencintai

uh, akhirnya nulis lagi. Setelah sempat bertekad untuk mengubur saja dalam-dalam blog ini. Lagian juga aku sedang pusing mikirin bukuku yang nggak beres-beres itu. Maklum, biasa nulis cerpen or novel, or artikel-artikel hasil liputan, ini disuruh nulis buku tentang warehouse receipt. aiiih, ribet!!

Tapi sebenarnya, keinginan untuk menulis ini tidak murni dari hasil pola pelarian dari tindak kejenuhan dalam proses penulisan buku. haha...ini sebenarnya hasil dari kritik seorang teman lama yang tiba-tiba hadir di facebook. hmm...

Suatu hari aku kaget, ketika salah satu teman lamaku say hello di facebook. Kami tidak ketemu sekitar 10 tahun! Bukan waktu yang singkat memang. Dia teman cowok yang pernah satu komunitas dengan aku di masa lalu. Ya, just a friend. Jujur aku tidak begitu kenal akrab dengan dia dulu. Cuma sekedar tahu, apalagi dua dari sahabatnya dia pernah jadi mantan pacarku, hihi...jadi wajarlah aku pasti ingat dia.

Pada awalnya, kami cuma sekedar ngobrol biasa. Oh, ternyata dia pernah tinggal dan bekerja di luar negeri juga. Saat ini dia sedang menjalankan usaha dengan teman-temannya. Udah masuk kategori sukses dia di usia muda. Wajarlah, aku dari dulu mengenal dia sebagai sosok yang cerdas. Cuma memang dia tidak terlalu suka bicara. Terlalu pendiam malah. Kalau boleh jujur, malah agak terkesan sinis. Sebab itu aku ingat banget dulu, jika tidak penting banget aku tidak mau bicara dengannya.

Tapi bertemu kembali dimasa kini dengan "tampilan" yang berbeda, membuat aku sedikit lupa dengan sikap sok cool-nya di masa lalu itu. Dia kini agak jauh lebih menyenangkan diajak bicara. Awalnya kami bertukar nomor telepon, lalu dia pun menawarkan aku untuk melihat hasil usahanya dengan teman-temannya. Sharing dikitlah untuk urusan pengembangan usaha. Ya, awalnya begitu.

Lalu, selanjutnya kami pun ngobrol-ngobrol untuk urusan yang lebih pribadi. Ya, rupanya dia tahu soal kehidupan pribadiku dari beberapa teman lama kami yang masih cukup dekat dengan aku. Dia mengaku prihatin. Dan tentang dia? hmm, ternyata dia belum menikah juga sampai saat ini. What?!

Sambil ketawa-ketawa dia ngaku belum laku-laku juga meski "packaging" dia saat ini sudah jauh lebih berkelas dari pada dulu. Hahaha...ada-ada aja! Jujur, aku tidak percaya. Mana mungkinlah dia tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita sampai detik ini? Homo-kah dia? ups! sorry...

Dan dia, teman lamaku itu cuma tersenyum. Senyum yang aneh terasa. Dan di salah satu food court di sore yang gerimis itu, dia kemudian mengungkapkan segalanya. Rahasia yang mungkin udah puluhan tahun dia pendam, dan seharus dia ungkap sejak dahulu kala.

Dulu, kata si teman lamaku ini, dia pernah suka sama teman ceweknya. Cewek yang aneh menurut dia. Cerewet, emosional, sombong dan sok kecakepan. Awalnya, dia mengaku sebel banget dengan cewek ini. Tapi karena mereka satu komunitas pertemanan, dia mengaku terpaksa harus terlihat biasa-biasa saja terhadap si cewek ini. Tetapi suatu hari, cara pandangnya terhadap cewek ini berubah drastis. Tanpa disengaja, mereka terpojok pada kondisi harus ngobrol berdua. Awalnya kaku, tetapi lama-lama dia mengaku jadi tiba-tiba suka dengan si cewek ini.

"Ngobrol dengan dia itu tidak bikin boring. Anaknya jujur dan apa adanya. Dan setelah aku lihat-lihat, dia lumayan manis juga" ungkap si teman lama ini.

Sejak itu, si teman ini mengaku kemudian mendadak jatuh hati pada si cewek ini. Tetapi untuk mengungkapkan, rasanya sulit. Ini cewek terlalu dinamis. Banyak gerak dan pecicilan. Langkah si cewek terkadang sulit terkejar bagi jiwa teman lamaku ini yang orangnya cenderung pasif dan grogian. Sampai akhirnya, si teman lama ini harus menelan luka bathin ketika dia tahu kalau cewek yang ditaksirnya itu justru naksir sahabatnya sendiri. Dan pacaran pula!

"Rasanya gimana ya waktu itu? Sedihlah pasti. Cuma tidak diungkapkan. Tetapi jujur, sejak saat itu aku jadinya agak-agak sinis sama dia. Nggak munafik sih, sakit hati juga"

Tapi tampaknya, rasa sakit hati teman lama ini tidak berakhir disitu saja. Di kemudian hari, usai putus dari sahabatnya, si cewek ini juga kemudian menjalin hubungan baru dengan sahabatnya yang lain. Waduh!

"Dua kali aku disakiti sama dia. Cuma herannya hati ini tidak bisa ditipu. Aku tetap suka sama dia. Meski perasaan itu harus kusimpan dan kupendam selamanya. Setelah dia putus sama sahabatku yang terakhir itu, aku juga tidak pernah nembak dia. Aku tidak pernah menyatakan perasaan aku sama dia. Entahlah, mungkin aku sakit hati banget dengan dia yang sudah macarin dua sahabatku. Sampai kemudian kami berpisah karena kesibukan masing-masing. Aku merantau ke berbagai tempat, mencari penghidupan yang lebih baik sambil berharap suatu hari kelak aku bisa melupakan cewek ini"

Sayangnya, menurut pengakuan si teman lama ini. Dia tidak pernah bisa melupakan cewek tersebut. Tetapi untuk mencari si cewek ini kembali, rasanya juga berat. Dia mengaku kesulitan untuk menentukan sikapnya ke cewek itu kelak. Apalagi dia mengaku, agak sedikit kurang percaya diri dihadapan cewek ini. Selanjutnya kehidupan teman lamaku ini hanya diisi dengan kerja dan kerja. Dia berharap suatu hari kelak dapat meraih kesuksesan besar, sehingga dia punya keberanian untuk menemui gadis yang pernah mengisi hatinya.

"Akhirnya aku mendapat kabar tentang cewek ini dari teman-teman. Dia sudah menikah, punya anak, tetapi dia bercerai. Tetapi lagi-lagi untuk menemui cewek ini aku tidak berani. Padahal di situs jejaring sosial, aku selalu liat dia comment di wall teman-teman lamaku. Aku cuma suka membaca comment dia yang lucu-lucu. Dia sama seperti dulu. Unik dan menyenangkan. Meski kulihat pic dia, haha...tidak lagi langsing seperti dulu. Namanya juga ibu-ibu. Tetapi pipi tembamnya itu selalu membuat aku rindu..."

Lalu teman lamaku ini kembali bercerita. Betapa dia akhirnya memberanikan diri untuk membuka hubungan pertemanan baru dengan si cewek ini. Dia bersyukur si cewek masih ingat dia. Kemudian mereka bertemu, dan disitu dia tahu bahwa rasa yang pernah hadir dulu itu tidak pernah menjadi semu. Tetap ada, meski kemudian terasa perih karena yang hadir dihadapannya kini seperti bukan lagi sosok yang sama seperti yang diharapkanya.

"Bertahun-tahun aku merindukan dia. Tetapi setelah bertemu, dia malah bercerita kalau kini dia masih menyimpan perasaan kepada seseorang. Orang lain (lagi!). Orang yang menurut aku tidak layak untuk dia cintai. Sebab laki-laki itu memutuskan hubungan tanpa suatu alasan. Lalu menghilang. Laki-laki macam apa itu? Tetapi apa mau dikata? Dia punya hak untuk mencintai siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Lagi pula ini salahku. Aku tidak membuka peluang terhadap diriku sendiri untuk dapat meraih hatinya. Lagi-lagi aku terluka. Tetapi jujur, aku semakin memahami perasaan ini"

Sore itu gerimis kian sadis. Segelas orange juice di depanku sudah habis. Sementara kopi di depan teman lamaku itu masih tersisa setengah. Aku melirik jam tangan, dan kemudian berpikir untuk cepat-cepat pulang. Anakku pasti sudah tidak sabar menunggu aku pulang ke rumah. Si teman lama menawarkan untuk mengantar pulang, tetapi aku hanya minta dia mengantarkan sampai stasiun kereta api Senen. Aku sangat suka naik kereta. Awalnya dia kurang setuju, tetapi akhirnya dia tak mampu menolak.

Sepanjang perjalanan menuju stasiun Senen, kami hanya diam. Dia nampak serius menyetir mobilnya, dan aku "pura-pura" fokus untuk "mengacak-acak" blackberry. Tetapi aku yakin, kami sebenarnya sedang berusaha menutupi perasaan ini.

Tepat di depan stasiun, kami turun. Dia masih menunggui aku yang antri nunggu tiket menuju ke Bekasi. Kereta 10 menit lagi datang. Aku menjabat tangannya erat.

"Terima kasih kawan, senang bertemu kamu lagi. Semoga bisnismu lancar ya" kataku.

"Kamu juga, semoga semua yang kamu harapkan dapat terwujud. Salam buat anakmu ya!"

Aku mengangguk. Melambai dan berbalik, tapi..

"Wid!"

Aku menoleh. Dia tampak tersenyum ramah.

"Lebih baik dicintai daripada mencintai. Kalau dicintai, kita akan belajar untuk mencintai. Tetapi kalau mencintai, kita akan terus-terusan belajar banyak hal. Mulai dari belajar untuk siap disakiti, dihianati, ditinggalkan atau bahkan dilupakan.."

Aku mengangguk,"Terima kasih sudah mau jujur"

Kereta sore itu penuh sesak sekali. Begitu berjubelnya manusia sehingga tidak mungkin ada satu pun orang yang bisa melihat air mata ini. Dia pria yang baik. Mungkin salah satu pria terbaik yang pernah kukenal. Tetapi kenapa hati ini tidak pernah bisa terarah dengannya. Dulu, jika dia tidak lebih dulu membuka hati, mungkin segala sesuatu yang diingini bisa saja terjadi. Tetapi kenapa dia baru bisa jujur untuk saat ini? Saat hati ini sudah begitu lelah untuk mencintai dan terlalu takut untuk dicintai?

Hati ini sudah beku. Tidak akan ada sedikit ruang buat seorang laki-laki disini. Aku berusaha tidak akan mengenal dan mempercayai lagi. Setidaknya untuk saat ini. Aku ingin fokus menggapai masa depan, mengurus anak dan mengubur segala kenangan masa silam yang menyakitkan. Aku tidak mau jatuh lagi karena laki-laki. Tidak akan.

Maafkan aku teman lama, pasti di luar sana ada seseorang yang lebih pantas untukmu. Seseorang yang memang ditakdirkan hanya untuk kamu. Dan aku yakin, itu bukan aku.. (***untuk seorang teman lama)