Powered By Blogger

kisah inspiratif widya

Jumat, 25 Juni 2010

Impian 2 Bocah Lelaki

Saat aku sempat balik ke Palembang, tinggal dan bekerja sekitar 1,5 tahun disana aku pernah kenal 2 sosok bocah lelaki ini. Perkenalan kami hanya sesaat, terjadi karena atas kebutuhan aku mengasuh anak. Keduanya anak yang tinggal disekitar rumah kontrakanku. Doa bocah putus sekolah yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi lemah. Bocah pertama bernama Sultan. Sementara bocah kedua, aku lupa siapa namanya. Tapi anakku biasa menyebutnya Kakak.


Sultan

Eits, ini bukan Sultan dalam arti sebenarnya. Ini adalah nama seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 atau 13 tahun. Sultan adalah anak tetangga dari pengasuh anakku. Dia suka anak kecil. Sebab itu dia sering membantu pengasuh anakku mengasuh si Rudy. Lagi pula dia putus sekolah. SD saja tidak tamat. Keluarganya sangat miskin. Tapi anak ini selalu ceria, dan Rudy memang senang sekali dengan si Sultan ini. Mereka kerap jalan-jalan, main bola, main mobilan, dan sebagainya. Segala yang diinginkan Rudy kecilku dapat diwujudkan Sultan. Termasuk meletakkan si gendut itu dipundak sambil nonton sepak bola di lapangan saat menjelang senja.

Semakin lama, yang eksis mengasuh anakku ini adalah justru si Sultan. Semua tetangga mengatakan, Rudy lebih banyak diasuh Sultan ketimbang pengasuh anakku yang sebenarnya. Nah, lho! Dan aku pun semakin sering melihat bahwa Sultan memang sangat sayang dengan si Rudy ini. Rudy biasa menyebutnya dengan nama "kakak utan". Keakraban mereka terus mengalir. Dan aku hanya bisa melihat bahwa sebenarnya Rudy tidak butuh pengasuh. Dia hanya butuh teman. Dan teman yang dia butuhkan adalah Sultan. Teman bermain, teman bercanda, teman menunggu ibunya pulang ke rumah usai bekerja.

Tetapi untuk mempekerjakan Sultan sebagai pengasuh anakku, jelas tidak mungkin. Dia kan laki-laki? Sementara waktu itu aku sedang hidup terpisah dengan suami. Kami waktu itu belum bercerai, tetapi sudah pisah selama satu tahun. Apa kata tetangga kalau aku meminta Sultan menjaga anakku di rumah? Sementara untuk menitipkan anakku di rumah Sultan, sangat tidak mungkin.

Orang tua Sultan sudah tua renta. Tidak mungkin bisa mengurus Rudy. Lagipula, kondisi rumah Sultan sangat tidak layak. Sedih sekali melihat rumah itu. Tepat berada di pinggir got. Dinding rumah hanya seng tua yang sudah bolong-bolong, dan lantainya hanya tanah. Rumah itu sempit sekali. Hanya ada balai-balai untuk tidur. Tanpa kasur. Panas dan penuh nyamuk. Kasihan anakku kalau dititip disitu.

Dan terpaksalah, pengasuh anakku jadi dobel. Si ibu tukang sayur dan si Sultan. Tetapi proses itu hanya satu bulan. Aku tidak cocok dengan kondisi lingkungan kerja dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Aku hanya pamit sama si ibu tukang sayur, dan aku tidak sempat pamit sama Sultan. Bocah yang pandai mengurus anakku itu lagi main bola. Tetapi untunglah ada salah satu ibu pedagang baju di pasar itu yang bersedia mencari Sultan. Dan anak laki-laki kecil dan kurus itu kemudian datang ke rumah kontrakanku.

Baru kali ini aku benar-benar melihat wujud asli anak itu. Kecil, hitam dan lusuh. Dia selalu memakai pakaian yang itu-itu juga. Pakaian kumal, dekil dan penuh robek dimana-mana. Sesekali aku sering juga melihat dia memakai jaket. Kata Sultan, itu jaket milik temannya. Karena dia tidak pernah memiliki sebuah jaket. Ya, boro-boro jaket, kaos oblong aja yang itu-itu juga.

"Ada apa yuk?" Sultan nampak menunduk hormat padaku. Ayuk adalah sebutan kakak untuk orang Palembang.

"Sultan, ayuk mau balik ke Jakarta"

Dia terpana. Lalu langsung memeluk Rudy yang memang sudah dari tadi memeluk kakinya."Wah, kakak harus pisah sama Rudy"

Saat itu aku bingung mau memberikan kenang-kenangan apa dengan si Sultan ini selain uang. Sebab meski baru satu bulan mengasuh anakku, aku sudah merasa simpati sekali dengan bocah lugu ini. Dia benar-benar tulus mengurus anakku. Dia tidak pernah minta uang.

Awalnya, aku hanya memberikan Sultan jam dinding. Jam dinding besar bergambar Walikota Palembang, yang kudapatkan dari Walikota Eddy Santana saat rutin meliput masa kampanye beliau. Tapi kemudian aku berikan dia barang-barang lain, yang ternyata memang sangat dibutuhkan dia dan keluarganya.

Aku memilihkan pakaianku yang kira-kira cocok buat Sultan. Dari kaos, jaket jeans hingga kemeja. Maklum, aku memang suka pake baju-baju cowok. Casual dan keren. Sultan senang sekali. Dia mencoba satu persatu pakaian itu. Bahkan dia langsung memakainya. Terutama jaket jeans aku, dia tidak mau melepasnya. Padahal cuaca Palembang saat itu sedang panas minta ampun.

"Bagus yuk bajunya. Terima kasih. Sultan jadi banyak baju sekarang" dia teriak-teriak.

"Sultan mau bantal? Ada bantal nggak di rumah?"

"Ada yuk. Cuma dua, sudah kempis-kempis"

Kuberikan bantal-bantalku padanya. Termasuk sarung bantalnya. Ada juga baju buat ibunya, dan beberapa barang lain untuk keluarganya. Seperti tikar, taplak dan sebagainya.

Lalu aku melihat kaki Sultan. Dia bahkan tidak memakai sandal. Kakinya kotor penuh lumpur. Kuberi dia sandal. Dia senang sekali. Tetapi tunggu, masa cuma sandal? Tiba-tiba aku melirik sepatu kets biru kesayanganku. Kenapa tidak diberikan juga kepada Sultan?

"Sultan mau sepatu? Muat nggak kakinya sama sepatu ayuk?" kataku sambil menyerahkan sepasang sepatu itu.

Sultan dengan penuh semangat langsung memakainya. Pas! Dia langsung mencoba berjalan-jalan dengan sepatu itu. Bolak-balik, bahkan dipegang-pegangnya dengan sukacita.

"Sultan suka sepatunya?"

Dia mengangguk. Lalu menangis. "Terima kasih ayuk. Sultan tidak pernah punya sepatu. Sultan ingin sekali punya sepatu. Sepatu ini bagus sekali. Baju ini juga, apalagi jaket ini. Alangkah banyaknya barang-barang ayuk yang diberi untuk Sultan. Sultan ikhlas yuk jaga si Rudy. Tetapi ayuk kasih Sultan banyak sekali..."

Ya Allah...aku juga menangis saat itu. Terharu sekali. Barang-barang yang tidak penting begitu bagiku, ternyata sangat berharga bagi Sultan dan keluarganya. Saat itu aku seakan menjadi orang yang kaya sekali. Aku lupa meski saat itu aku juga sedang bermasalah mengenai kondisi keuangan. Rasanya semua pikiran sedih dan putus asa lenyap sudah.

Ternyata ada orang yang lebih susah dari kita. Lebih menderita. Dan karena kita mampu sedikit berbagi, maka kita tiba-tiba merasa memiliki hati seluas samudra. dan jujur, perasaan seperti itu begitu luar biasa. Sayang perekonomianku tidak cukup mampu untuk menolong banyak orang seperti si Sultan ini misalnya. Demi menghidupi anakku, aku saja harus berjuang banting tulang dan peras tenaga. Tetapi harapan untuk suatu hari kelak dapat memiliki kehidupan yang jauh lebih baik serta berbagi dengan orang-orang lain yang kekurangan jelas ada dan tak pernah punah. Itu cita-cita abadi yang selalu terselip di hati ini.

Menjelang kepergian kami, Sultan juga sempat menitipkan harapan padaku. Agar suatu hari kelak aku dapat mengajaknya bekerja. Waktu itu aku niat balik ke Jakarta antara lain juga selain ingin pindah kerja juga karena berpikir untuk rujuk dengan suami. Hal itu kuceritakan dengan Sultan, dan dia semangat sekali mendengarnya.

"Si kakak, suami ayuk itu kerja apa disana yuk? Ajaklah Sultan yuk kerja disana. Bantu-bantu kakak dan ayuk disana. Jaga Rudy pun Sultan mau yuk. Rudy lucu, Sultan suka. Sultan ingin kerja cari uang yuk. Kasihan emak dan bapak sudah tua. Sultan ingin bantu-bantu kirim uang..."

Tapi waktu itu aku hanya tersenyum padanya. Susah berjanji saat itu. Aku saja tidak begitu yakin dengan kehidupanku selanjutnya nanti. Masalah aku dan suamiku waktu itu saja belum jelas, bagaimana mungkin aku dapat menjanjikan pekerjaan kepadanya? Tetapi melihat begitu besar semangatnya, entah mengapa hatiku seakan berusaha mewujudkannya. Someday, jika aku sukses mungkin aku akan jemput bocah kecil ini. Begitu harapanku.


Kakak

Ini adalah bocah lelaki kedua yang juga sering membantu aku mengasuh Rudy. Keluarganya mencari nafkah dengan jualann pempek. Mereka tinggal dirumah sempit yang sesak sekali. Dan ya Tuhan, anak mereka banyaaaaaaaakk sekali. Konon sang ibu ini kebal KB. Menghidupi anak banyak dengan jualan yang kadang laku kadang nggak jelas masalah besar. Sebab itu, si ibu dari keluarga ini kerap menghutang. Akibatnya, dia sering tiba-tiba sembunyi dibalik pagar rumah tetangga jika ada penagih hutang datang.

Inilah awal pertemuan aku dengan ibu dari bocah lelaki yang kami panggil si Kakak ini. Dia tiba-tiba loncat masuk ke rumahku minta pinjem uang. Kaget sekali aku. Awalnya kukira ada masalah berat. Ternyata mau pinjam uang. Waduh, mampus! Mana aku belum gajian. Lagipula para tetangga lain sudah wanti-wanti agar aku tidak meminjamkan uang kepada si ibu ini. Karena dia tidak pernah bisa membayar hutangnya. Hutang lamanya saja sudah banyak, bagaimana membayar hutang-hutang baru? Begitu analisa para tetangga. waduuuh...

Tetapi aku tetap berusaha baik dengan keluarga ini. Aku kerap membeli barang dagangan mereka. Cuma yang aku stres, anak-anak keluarga ini banyak sekali. Dan mereka ini senang sekali main ke rumah. Tidak menjadi soal sih kalau mereka asyik-asyik semua. Masalahnya yang datang ini pasukan balita yang kucel, kumel dan lapar semua. Lapar perut, lapar mata. Apa aja di rumah kita bisa diembat semua. Kalau makanan sih nggak jadi soal. Nah, ini mainan si Rudy mau dicaplok semua. Udah dikasih boneka, minta yang lain. Dikasih juga, minta lagi. Terus begitu. Akibatnya terjadi pertikaian dengan anakku, yang membuat kepalaku mau pecah saat itu.

Sejak saat itu, aku harus mewaspadai kedatangan pasukan dari anak-anak keluarga ini. Caranya? kasih mereka uang jajan dan makanan sebelum mereka masuk ke rumah. Biar mereka segera pulang. Aman! Setidaknya mereka tidak berperang dengan anakku. Sebenarnya sedih melihat pasukan anak-anak tak berdosa itu. Mereka kecil-kecil semua. Bertingkat-tingkat susunannya kayak tangga. Yang agak gede bertugas jaga adik-adik yang kecil. Sedih melihat bocah lima tahun gendong bayi. Tuhan..

Tapi diantara saudara-saudara pasukan mengenaskan itu, aku suka salah satunya. Dia salah satu anak laki-laki paling gede. Usianya sekitar 7 tahun, kami menyebutnya si Kakak.

Si kakak ini sangat santun dan ramah. Dia selalu minta maaf kepadaku atas kelakuan para saudaranya. hehe...Dan si kakak ini pula kerap membantu aku banyak hal. Bantuin aku beli sesuatu ke warung, ngangkutin barang, nungguin Rudy sebentar atau aktifitas ringan lain. Dia senang melakukannya, apalagi karena pasti kuberi uang. Bahkan dia sering menghampiri aku, berharap mendapat tugas baru. Kalau aku tidak punya tugas buat dia sih, aku tetap terkadang kasih dia uang dan makanan. Kasihan sekali si kakak ini, dia juga putus sekolah.

Satu hal yang tidak aku lupakan dari si kakak ini. Suatu hari, aku sakit. Aku minta bantuan dia menunjukkan rumah dokter terdekat. Tentu saja dengan izin orang tuanya. Selepas isya, aku, anakku dan si kakak ini berjalan menuju rumah dokter. Tuhan, karena aku lagi sakit jadi rumah dokternya nampak terasa sangat jauh. Sementara ojek nggak ada yang lewat malam itu. Apes banget. Mana kondisi tekstur tanahnya berbukit dan berliku. aku yang sedang kurang enak badan, ditambah menggendong anakku yang sedang gemuk-gemuknya itu tentu saja lemas.

Tetapi Ya Tuhan...si kakak ini, bocah lelaki kecil kurus hitam ini langsung meminta izin aku untuk menggendong Rudy.

"Biar kakak yang gendong adik Rudy, Bu. Saya biasa gendong adik" kata dia.

Entah kenapa aku percaya. Dan dengan jarak tempuh yang cukup jauh karena proses menanjak dan menuruni tanah berbukit dan agak curam itu, dilewati si kakak ini dengan menggendong anakku. Rudy kecilku memeluk erat lehernya, dan si kakak ini tampak senang dan selalu tertawa. Meski berat badan Rudy nampak jauh lebih berat dari si bocah lelaki ini. Pulang dari dokter pun dia tetap nekad menggendong si Rudy.

Saat si kakak ini akan kuantar ke rumahnya, kuselipkan uang lima ribu perak ke tangannya. Cuma lima ribu perak! Karena cuma itu uang kecil yang tersisa setelah proses pembayaran pemeriksaan kesehatan di dokter tadi. Maksudku, aku ingin beri dia lebih, terutama makanan-makanan kecil di rumah. Tetapi anak itu sudah berlari kesana-kemari. Meloncat-loncat bak tupai liar. Tertawa dan berteriak kuat-kuat. Tuhan...dia senang sekali menerima lima ribu rupiah itu.

"Terima kasih ibu! Terima kasih ibu!" kata dia sambil terus meloncat-loncat.

"Eh, ke rumah dulu ya. Nanti ibu tambah uangnya, ibu juga ada banyak makanan. Biar nanti kamu bagi dengan adik-adik..."

"Tidak usah ibu. Terima kasih! Ini sudah banyak ibu. Ini sudah banyak sekali!" dia masih terus meloncat-loncat sambil masuk ke rumahnya. Dia pamerkan uang itu kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Dan ramailah rumah itu oleh terikan-teriakan balita dan tawa orang tuanya.

Sedih melihatnya. Ternyata itu adalah uang terbanyak yang pernah si kakak ini terima. Senang bisa membuat bahagia bocah kecil tersebut. Kasihan melihat anak sekecil itu harus sudah diberi tanggung jawab mengurus begitu banyak adik-adiknya. Sampai dia terpaksa putus sekolah. Ibunya yang rutin beranak itu bahkan masih meninggalkan tunggakan biaya melahirkan di bidan untuk anak terakhirnya, dan kini kulihat perutnya sudah buncit lagi.

Saat aku akan balik ke Jakarta, si kakak ini juga ikut membantu aku membereskan barang-barang yang akan kubawa. Sama seperti Sultan, bocah ini juga berharap suatu hari bisa pergi ke Jakarta.

"Jakarta seperti yang saya lihat di tivi ya, Bu? Bisa cari uang banyak disana ya Bu? Bu, nanti kalau saya sudah besar saya mau kesana. Mau cari ibu dan Rudy. Saya mau cari uang disana ibu, buat bantu orang tua dan adik-adik disini. Saya mau ke Jakarta ibu..."

Lagi-lagi sama seperti Sultan, aku tidak bisa berjanji.

Kini, kisah itu sudah berlalu 3 tahun sudah. Aku gagal rujuk dengan suami yang nambah brutal kelakuannya, dan akhirnya kami malah cerai. Suatu keputusan yang mestinya sudah kuambil sejak awal perkawinan. Inilah akibatnya jika menikah dengan pria miskin hati dan pikiran.

Selanjutnya karirku juga tidak bisa dikatakan cemerlang. Yah, namanya juga masih jadi kuli di perusahaan milik teman. Begini-begini aja. Untung bisa ngidupin anak aja sudah alhamdulillah. Tetapi entah kenapa, ada salah satu mimpi yang masih ada di kepala ini.

Aku bermimpi. Jika suatu saat nanti aku menemukan laki-laki baik hati di republik ini, maka aku pasti akan berpikir untuk menikah lagi. Lalu aku dan suamiku yang baru ini nanti punya usaha sendiri. Nggak muluk-muluk si usahanya. Kecil-kecilan aja, tapi pasti. hihi...Kemudian aku ingin mengajak dua bocah itu untuk membantu usaha kami. Biar mereka bisa sekolah nantinya. Biar Rudy juga jadi punya 2 kakak nantinya. Biar keluarga kecil kami tambah ramai. Biar banyak rezeki. Biar...biar..dan biar..Amien Ya Rabb...

Itu jelas bukan impian spektakuler abad ini. Sekedar mewujudkan impian dua orang anak kecil yang pernah membantu aku dan anakku. Namun impian itu nampaknya hanya tinggal sekedar impian semata. Tidak pernah terjadi sampai detik ini. Semakin jauh dan semakin redup saja..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar