Powered By Blogger

kisah inspiratif widya

Selasa, 27 April 2010

Contoh PNS Pintar

Ismadjaya Toengkagie

Keturunan Raja Ternate

Ramah dan bersahaja. Demikian sosok Kepala Bagian Program dan Pelaporan pada Sekretariat Bappebti, Ismadjaya Toengkagie. Lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara, 1 Januari 1954. Lho, kok marga Toengkagie tapi nama depannya Ismadjaya? Menurut suami dari Siti Rosedahliana ini, nama Ismadjaya sebenarnya nama seorang tamu yang sering menginap di rumah penginapan milik keluarganya.
“Rumah keluarga itu termasuk yang terbesar di daerah kami waktu itu. Karena daerah disana dulu belum ada semacam penginapan, maka diminta Bupati waktu untuk dijadikan penginapan. Jadi sering banyak orang dari luar datang dan menginap disana. Salah satunya ada Pak Ismadjaya, seorang saudagar dari Sumatra. Saat saya lahir, bapak tersebut minta kepada ayah agar menggunakan namanya untuk saya,” kisah pengidola Soemitro Djojohadikusomo dan Emil Salim.
Tetapi bukan itu saja yang membuat sosok pria berpostur tinggi 173 cm dan berat 68 kg ini tampak agak “berbeda” bagi keturunan Manado lainnya. Wajahnya justru mirip orang Timur Tengah. Ternyata, alumnus Magister of Science Jurusan Administrasi Publik pada FISIP Universitas Indonesia tahun 2005 ini mewarisi keturunan Ternate dari ibunya. Kakek Ismadjaya ternyata merupakan anak Raja Muda Ternate yang menyebarkan agama Islam di wilayah Bolamongondo. Sang kakek ini kemudian menikah dengan gadis Bolamongondo dan melahirkan seorang putri yaitu ibu dari Ismadjaya.
Semasa kecil, penyantap makanan pedas ini ternyata merupakan “bintang” di tanah kelahirannya. Keahliannya bernyanyi sejak usia 5 tahun menarik perhatian Bupatinya waktu itu. Maka didirikan band bocah yang pemain musiknya anak-anak SMA, sementara Ismadjaya yang baru masuk SD didaulat jadi vocalisnya. Meski kerap terpaksa menyanyi di atas meja karena belum bisa menjangkau mikropon, tetapi anak kedua dari 8 bersaudara ini sudah fasih melantunkan tembang-tembang berbahasa Inggris dan Spanyol. Keahlian inilah yang kemudian menurun kepada anak bungsunya, Farah Cantika yang sempat masuk 5 besar AFI Junior 2008.
Meski memiliki kemampuan seni, justru penggemar tenis meja dan jogging ini tidak berniat jadi seniman. Apalagi meneruskan profesi sang ayah yang pengusaha itu. alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi tahun 1981 ini malah terbang ke Jakarta untuk jadi PNS Depdag. Meski dengan gaji PNS yang tak seberapa, Ismadjaya pun tak menyerah. Bersama temannya dia nekad mencari uang tambahan halal dengan menjadi dosen mata kuliah sore. Suatu profesi yang juga masih dijalaninya hingga saat ini. Bahkan kini dia telah mengajar di berbagai universitas swasta ternama di Jakarta.
“Menjadi dosen bagi seorang PNS itu tidak ada larangan. Justru saya mendapatkan dukungan. Bahkan saya menjadi lebih banyak wawasan dan terbiasa tampil dihadapan publik. Saya tidak akan melepaskan dunia pendidikan ini. Bahkan jika saya sudah pensiun nanti, saya ingin tetap mengajar sebagai dosen. Ini pekerjaan yang saya cintai,” terang ayah dari Rizky Maulana Toengkagie (22), Reysa Rahmat Toengkagie (18) dan Farah Cantika (8). (widya burlian al-kalabi/Bulletin Berjangka BAPPPEBTI April 2010)




artikel diatas merupakan tulisan saya untuk rubrik KIPRAH di Bulletin BERJANGKA Edisi April 2010, milik Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), Departemen Perdagangan.

sebenarnya kisah inspiratif saya kali ini, bukan membahas siapa Ismadjaya Toengkagie. Tetapi membahas betapa seorang PNS ini pintar menggunakan otaknya untuk mencari tambahan uang bagi penghidupannya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi, Manado pada tahun 1981, Ismadjaya bersama kelima rekannya nekad mengirimkan berkas ke Departemen Perdagangan RI di Jakarta, demi melamar kerja sebagai PNS disana. Saat menerima panggilan dan harus mengikuti tes di Istora Senayan, kelima pemuda Manado ini pun terbang ke Jakarta.

Pada awalnya mereka mengira, setelah lulus jadi PNS pada proses penempatan mereka akan dikembalikan ke kampung halaman. Tetapi ternyata, mereka "terpaksa" menjadi warga Jakarta. Hidup merantau dengan penghasilan sebagai PNS, ternyata tidak mudah bagi para pemuda ini. Dengan gaji Rp 25 ribu per bulan kala itu, tentu jelas tidak mudah bagi anak rantau. Apalagi saat itu, untuk bayar kost saja sudah Rp 50 ribu/bulan. Belum makan dan sebagainya. Sehingga dalam perjalanannya, ada dari rekan mereka yang mengundurkan diri dan memilih berkarir di lingkup swasta. Tetapi Ismadjaya tidak menyerah, bersama salah seorang rekannya dia putar otak bagaimana caranya mencari uang dengan cara halal.

Waktu itu, PNS masih dapat pulang kerja sekitar pukul 4 sore. Merasa banyak memiliki waktu luang, Ismadjaya dan rekannya punya ide untuk mencari uang dengan mengajar. Mereka ingin menjadi dosen mata kuliah sore! Maka disebarkan berbagai surat lamaran bekerja menjadi dosen di berbagai universitas swasta di Jakarta. Meski belum juga mendapat balasan, mereka tidak putus asa. Ternyata Allah pun memberikan rizki kepada dua pemuda kampung ini. STIE Rawamangun memanggil mereka!

Sejak itu, dimulailah kisah perjuangan dua anak muda pantang menyerah ini. Sepulang dari bekerja sebagai PNS, mereka belajar setengah mati agar saat mengajar di depan para mahasiswa mereka nanti mereka jauh lebih pintar. Demi usaha ini, mereka terpaksa harus banyak membaca dan belajar lagi. Jelas bukan pekerjaan yang mudah, apalagi mereka melakukannya setelah pulang lelah bekerja sebagai PNS, kemudian setelah belajar mereka pun harus mengajar lagi dari sore hingga malam.

Ternyata, buah dari kerja keras itu indah. Meski pada awalnya berat bagi mereka, dan nyaris menyerah, tetapi lama kelamaan profesi "sampingan" ini malah bikin jatuh cinta. Hasilnya, Ismadjaya serta rekannya ini tidak hanya mengajar di satu tempat, tetapi juga di tempat-tempat lain. Dan yang lebih mengagetkan mereka, pekerjaan sebagai dosen ini justru meningkatkan pundi-pundi keuangan keduanya. Pada masa itu, Ismadjaya mengaku sudah tidak pusing memikirkan gaji PNS yang tidak seberapa itu lagi. Dia bisa hidup jauh lebih baik, bergaya layaknya anak muda mapan Jakarta, bahkan mampu mencicil kredit mobil!

Selanjutnya, pekerjaan menjadi PNS dan dosen dijalani Ismadjaya dengan sukacita. Betapa tidak? selain mendatangkan rezeki halal, pekerjaan menjadi dosen membuatnya semakin bertambah wawasan dan berani tampil dimuka publik. Kondisi ini justru membantu kinerja Ismadjaya sebagai PNS, sehingga menambah daftar karir cemerlangnya. Bahkan, masa pensiunnya pun ditunda mengingat instansti di tempatnya bekerja masih membutuhkan kiprahnya sebagai birokrat handal. Di luar itu, citra Ismadjaya sebagai pendidik terus berjalan. Tidak hanya sekedar dosen, dia pun sudah beberapa kali membantu men-desaign kampus-kampus swasta di Jakarta untuk berdiri sempurna.
Ditangannya, tetap ada pengabdian sebagai pelayan negara. Tetapi juga pahlawan tanpa tanpa jasa.

Jadi, bagi seorang PNS, mengapa harus menjadi Gayus Tambunan jika hidup ini banyak pilihan? Memilih profesi sebagai PNS bukan berarti resmi pula menjadi koruptor. Menjadi PNS tentu tidak mudah, kita harus menyingkirkan banyak saingan dari seluruh wilayah Indonesia untuk menduduki posisi yang "aman" karena ada jaminan uang pensiun ini. Kita tidak bicara soal PNS yang tiba-tiba hadir di suatu instansi pemerintah atas dasar titipan neneknya atau karena kebetulan bapaknya baru jual sawah sehingga mampu menggelontorkan uang sogokan puluhan juta.

Tidak, kita bicara soal PNS yang berhati nurani. Soal PNS yang punya otak. Kita hanya bicara soal pelayan-pelayan terbaik yang dimiliki republik tercinta ini...(widya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar